Cerpen (Merpati Tak Lagi
Terbang Tinggi)
Kisah
ta’arufku hampir enam tahun silam masih membekas di benak. Sungguh, kalau ingat
saat itu aku merasa menjadi orang paling konyol di dunia, sekaligus merasa jadi
orang paling beruntung. Saat ta’aruf, saat hendak menikah, saat hari H
pernikahan, semua menyisakan kenangan lucu dan konyol. Bahkan aku tak tahu hari
pernikahanku.
Panggil aku
Sofi, anak ke 6 dari 7 bersaudara. Hidupku dipenuhi kasih sayang dan
bermanja-manja. Tapi orang tuaku juga mengajarkan kami sikap mandiri dan
bekerja keras serta sikap peduli dan menolong. Orangtuaku tak membedakan anak
laki-laki dan perempuan. Tugas di ladang yang terletak di lereng bukit dibagi
bertujuh. Tentunya sesuai kemampuan kami. Pun saat sumur kering, kami biasa
bersama-sama mengambil air di sungai di bawah bukit yang lumayan jauh. Tapi
kami senang melakukannya. Sebab sambil bekerja, bapak juga mengajak kami
bermain disela-selanya.
Mungkin
kebiasaan naik turun bukit itu, yang kemudian hari menguatkan jiwa
petualanganku naik turun gunung. Aku diantara saudara perempuanku memang paling
tomboy dan bandel. Tapi masih sebagaimana umumnya kenakalan anak-anak, tak
sampai ke hal negatif. Saat SMU hobi naik turun gunungku masih menggila. Awalnya
orang tua sering melarang, bahkan aku kena marah. Tapi akhirnya orangtuaku
menyerah menasehatiku untuk berhenti naik gunung. Apalagi setelah sering
melihat aku baik-baik saja dengan hobiku, mereka membiarkanku, tapi memintaku
untuk berhati-hati. Aku senang main, sebaliknya akupun menjaga kepercayaan
mereka.
Oya, aku
tinggal di lingkungan yang Alhamdulillah bagus. Keluargaku muslim rajin
sholat. Sementara banyak tetangga di desaku yang pria bercelana gantung dan
wanitanya berjubah serta bercadar, aku menganggap mereka aneh. Namun aku akrab
dengan akhwat-akhwatnya. Yang pada akhirnya setelah menikah kelak, aku tahu
mereka itu bermanhaj salaf. Hidayah memang belum datang padaku, saat itu akupun
belum berjilbab bahkan dalam keluargaku banyak bid’ah dan syirik.
Seiring
waktu, lulus SMU, aku mulai berjilbab kecil. Aku masih tomboy dan tetap
rajin naik gunung. Tak berapa lama, aku mendapat tawaran dari seorang tetangga
bekerja di Batam. Si tetangga sudah lama disana. Kebetulan pula beberapa anak
Pak Dhe dan Omku juga mengais rizki disana. Kupikir apa salahnya mencari
pengalaman? Atas ijin ortu aku berangkat. Di Batam hobi naik gunungku makin
menggila, bahkan hingga Sumatra dan Kalimantan. Bila kerja libur, aku
berpetualang. Selain itu aku mulai rajin ngaji di ta’lim yang diadakan sesama
karyawan.
6 tahun di
Batam, aku pulang ke Jawa. Aku masih saja ke gunung. Hingga suatu sore Bapak
bilang, “Kamu mau dilamar nduk! Besok ada yang mau datang ketemu”. Aku
tak terkejut, malah tertawa ngakak, hingga bapak mencubitku. Dan aku bilang ke
Bapak, “Jam berapa pak? Pagi atau siang, soalnya Sofi mau naik gunung.
“Lagi-lagi bapak mencubitku, ”Dasar otak gunung”, ujarnya sambil berlalu. Ada
yang tahu perasaanku saat itu? Datar dan biasa saja. Bahagia? Entah. Aku tak
merasakan apa-apa. Bahkan, penasaran siapa laki-laki yang hendak melamarku pun
tidak. Bahkan saat kakak dan adikku meledek, aku biasa saja. Maklum, selama ini
sosok makhluk bernama “laki-laki” tak pernah ada di otakku, pacaran pun aku tak
pernah. Naksir cowok? Jauh dari daftar acaraku, tapi itu bukan berarti aku tak
punya teman laki-laki lho…,
Esok yang
dijanjikan pun tiba. Kakak-kakak dan adikku heboh mengintip, tapi aku biasa
saja. Hingga bapak memanggilku ke ruang tamu. Aku memakai baju gunungku,
kupikir aku tampak percaya diri dan gagah, bagiku itu pakaian terbagus dari
pada rok panjang yang ribet. Kubiarkan ibu dan kakak-kakakku ngomel karena aku
tak mau memakai “pakaian feminim” yang sudah susah payah disiapkan.
Masuk ruang tamu, aku tak berani menatap yang hadir. Aku duduk dekat Bapak.
Mukaku seperti udang rebus dan ini baru terjadi sekali dalam hidupku. “Gimana
Sof, kamu mau? “Bapak memecah kebekuan. Aku hanya menunduk dari tadi. Diam. Tak
menjawab Bapak. Mataku justru sibuk melihat kaki pelamarku. Kaki yang putih dan
bersih. Hingga Bapak menyentuh punggungku. Karena terkejut aku tak bisa
mengontrol ucapanku “Putih Pak, aku mau!” Astaghfirullah,,, ini akibat
mata yang diumbar. Ruang tamu dipenuhi tawa tertahan keluarga besarku. Aku tak
tahu, apa yang ada di benak pelamarku tentang aku … ah masa bodo ….
Tak sampai
seminggu setelah lamaran, Bapak menemuiku. Saat itu hari Rabu, aku tengah
bersiap untuk mendaki ke gunung Semeru. Bapak bilang aku harus mengurus surat
nikah, karena hari Senin depan aku menikah. Aku protes karena aku tak diberi
tahu sebelumnya. Padahal setahuku, pelamarku itu cuma datang sekali kerumah.
Rupanya Mas Hari, ikhwan tetangga, yang jadi perantara dengan Bapak. Aku ngotot
naik gunung meski keluargaku melarang. Aku berjanji insya Allah hari Minggu
sudah kembali ke rumah. Bapak kecewa dengan keputusanku, tapi saat aku pamit
Bapak tertawa dan mencubitku. Bapak bilang,
“Sebentar lagi, otak gunungmu akan hilang” Hmmm … benarkah ?
Minggu sore,
aku pulang disambut omelan ibu. Karena was-was. Tapi Bapak adem adem saja.
Justru yang malah marah Pak Dhe dan Embah. Tak cuma ngomel padaku, tapi juga
pada Bapak dan Ibu, karena tak memingitku. Sebagaimana tradisi di
daerahku, orang yang mau jadi pengantin tak boleh keluar rumah. Sedang aku? he
… he…
Begitulah,
tenda biru telah didirikan sehari sebelum aku turun gunung. Bila ada tamu
datang, mereka mencari calon pengantin. Bapak dan ibu bilang sedang naik
gunung. Maka tamu pun bingung dan berkomentar ini itu. Itu sebagian kekonyolan
menjelang pernikahanku.
Hari itu pun tiba. Akad nikah dibalik tabir itu berlangsung khidmat. Tak terasa
airmata menetes saat ijab kabul, bahkan Bapakpun menangis. Demi Allah,
aku merasa bahagia luar biasa. Kemarin aku masih seperti merpati, bebas kemana
saja, beberapa jam kemudian ternyata aku sudah terikat pernikahan. Subhanalloh.
Setelah ijab kabul, aku diminta tanda tangan buku nikah. Kudengar dari balik
tabir Bapak meminta seorang laki-laki masuk dengan membawa buku nikah keruang
aku dan keluarga besarku serta tamu undangan wanita. Itulah untuk pertama
kalinya. Aku melihat jelas wajah suamiku. Putih seperti kakinya dan tampak
dengan jenggot lebat yang rapi. Aku merasa tiba-tiba jatuh cinta!! Tengah
dimabuk asmara, aku tak berhenti mencuri pandang padanya. Namun apa yang
terjadi?? Deg-degan menanti, mas Hasan suamiku – bukan ke tempat dudukku malah
dengan pedenya menyambangi tempat duduk adikku, sambil menyerahkan buku nikah.
Serempak orang diruang itu berteriak. “Salah mas, pengantinnya bukan yang itu,
tapi ini”. Kulihat muka mas Hasan bersemu merah. Ia tampak malu dan menahan
tawa sambil menuju ke arahku. Ruang yang penuh dengan kebahagiaan kian semarak
dengan gelak tawa.
Wajahku dan
adikku memang mirip. Saat kejadian itu, ia berdandan dengan baju payet indah
yang seharusnya kupakai saat itu, tapi aku lebih memilih memakai jubah dan
kerudung kecil sederhana hingga tak mencolok seperti adikku. Eh, malah jadi
keliru … Alhamdulillah, akhirnya aku resmi jadi istri.
Setelah menikah hidupku berubah. Kini telah kutempuh manhaj mulia ini atas
bimbingan mas Hasan dan tentunya hidayah Allah pula. Tak lupa kuucapkan terima
kasih pada mas Hari dan istri yang telah berani merekomendasikan aku pada calon
suamiku, padahal aku masih jahil saat itu. Semua itu mereka lakukan
karena sayang dan kasihan padaku yang sering berpetualangan, rencana nikah 3
bulan ke depan dimajukan lima hari setelah lamaran!! Saat pernikahan pun
berlangsung tanpa musik dan syar’i.
Alhamdulillah, bapak bisa diajak kerjasama oleh
mas Hari dan mas Hasan, Lagi pula bapak juga ingin aku berhenti berpetulangan
dan sangat setuju aku menikah.
Kini aku hamil 5 bulan anak keduaku. Aisyah anak pertamaku mulai masuk TK,
Alhamdulillah aku hidup bahagia serta tak henti kusyukuri Allah memberiku suami
yang mencintaiku karena-NYA dari sejak berjumpa. Bahkan kini, Bapak pun
menempuh manhaj Salaf. Sekali lagi, tak henti kuucap syukur pada Allah atas
semua ini. (Ummu Zubair)
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini !
1.
Tentukan tema
cerpen di atas ! berilah bukti-bukti pendukung/alasan yang logis
2.
Tentukan latar :
a.
Tempat
b.
Waktu
c.
Suasana
3.
Tentukan tokoh-tokoh dalam cerpen di atas,
kemudan jelaskan perwatakannya !
4.
Tulislah nilai-nilai kehidupan positif dalam cerpen tersebut !
5.
Tulislah nilai-nilai kehidupan negatif dalam
cerpen tersebut !